Batas cinta dan benci konon setipis kulit
bawang. Kepada orang yang (pernah) kita cinta setengah mati, suatu saat kita
bisa benci ¾ mati. (Bunga
25%, jauh di atas BI rate). Iya, sumbernya memang sama: hati.
Ketika
kini aku membencimu, itu karena aku mencintaimu sampai pada titik di mana
hatiku hancur menyerpih karenanya.
Ada ungkapan kami orang
Batak–walaupun nggak menggambarkan karakter pemilik ungkapan itu ya–indang di ho, indang di ahu, tumagonan ma tu begu.
Artinya kira-kira, “gue ngga dapet, elo juga ngga boleh dapet, mending buat
hantu sekalian!”
Inilah barangkali yang
menjadi ruh dari SMS bernada geram semacam “Lo udah buat idup gw hancur.
Skrg giliran idup elo gw buat berantakan!” Ketika Anda hubungi
kembali, nomor pengirim SMS itu sudah tak aktif.
Sampai di sini,
defenisi itu, bahwa mencintai berarti menginginkan kebahagiaan untuknya, walau tak
harus bersamanya atau memilikinya, menjadi basa-basi yang beneran
basi. Atau kita memang tak pernah mencintai siapapun, kecuali diri kita
sendiri?
Maka ketika diri
kita–satu-satunya orang yang kita cintai itu–tersakiti, pelakunya harus
merasakan sakit yang sama, plus bonusnya tentu saja, sekalipun ia adalah
seseorang yang, once upon a time, kita sebut sebagai yang tercinta.
Yang lebih kacaunya,
seringkali tak ada siapapun yang menyakiti kita sebenarnya, kecuali diri kita
sendiri. Tapi kita harus menemukan seorang terdakwa untuk penderitaan itu, dan
orang itu adalah dia!
Jadi inget ungkapan
orang Batak lainnya. (Doh, kok jadi sangat Batak nih tulisan). Hassit mulak mangido,
humassitan mulak mangalean. Emg sakit ketika permintaan kita
ditolak, tp ngga sesakit kalau yang ditolak itu pemberian. Apalagi kalau yang
diberikan itu adalah hati…
Ketakutan akan
penolakan, telah menjadi teror yang menyeramkan dalam kehidupan, yang mewarnai
kisah nyata umat manusia, juga skenario rekaan di layar sinema. Kita kadang
sulit menakar, mana yang lebih perih: cinta yang tak pernah diucapkan, atau
cinta yang terucap, tetapi berujung penolakan.
Tapi, apakah kita punya
hak membenci seseorang, hanya karena dia tidak menerima hati yang kita berikan?
Apakah kita boleh mengatakan, “Karena cintaku tak kau butuhkan, berarti yang
kau perlukan dariku adalah kebencian?”
Entahlah… Tetapi saya,
dan banyak orang yang saya kenal, pernah seperti itu. Sampai kemudian saya
tahu, cinta yang ditolak bukanlah akhir segalanya. Benar, semua memang akan
berakhir jika cinta yang “ditolak” itu kemudian kita biarkan melintasi batasnya
yang setipis kulit bawang, menjadi kebencian. Orang yang tadinya masih agak
Simpati dan menganggap kita Fren, pasti berubah menjadi Mentari, membakar kita
dengan bara amarahnya.
Padahal ada option yang lebih baik. (1) Pamit baik-baik,
mengemas kembali tumpahan hati yang tak menemukan muaranya itu, mencari
samudera lain yang membutuhkannya, yang benar-benar bisa menghargainya.
Atau…
(2) Jika sungguh tak
bisa pindah ke lain hati, tetaplah mencintainya, karena sebenarnya, tak
siapapun yang bisa menolak persembahan cinta. Bukankah mencintai adalah hak setiap
orang? Tetapi tentu saja, mencintalah dari jauh, melayarkan rindu yang tak
pernah kunjung berlabuh. Sayangi dirinya tanpa membuatnya merasa terganggu.
Panjatkan do’a untuknya, walau dia tak pernah tau, memohonkan bahagia untuknya,
walau kebahagiaan itu dibaginya bukan denganmu.
Menyedihkan? Mungkin
iya, mungkin juga tidak. Yang jelas, itu tidak sekonyol cinta yang bermutasi
jadi benci tadi. Lagian, Tuhan konon menyimpan sebuah janji rahasia di langit
sana: bahwa tak ada balasan bagi cinta sejati, kecuali cinta sejati pula.
Siapa tau, ini cuma
persoalan waktu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar