Jumat, 09 Desember 2016

Karena Cinta dan Benci Datang dari Tempat yang Sama


Batas cinta dan benci konon setipis kulit bawang. Kepada orang yang (pernah) kita cinta setengah mati, suatu saat kita bisa benci ¾ mati. (Bunga 25%, jauh di atas BI rate). Iya, sumbernya memang sama: hati.
Ketika kini aku membencimu, itu karena aku mencintaimu sampai pada titik di mana hatiku hancur menyerpih karenanya.
Ada ungkapan kami orang Batak–walaupun nggak menggambarkan karakter pemilik ungkapan itu ya–indang di ho, indang di ahu, tumagonan ma tu begu. Artinya kira-kira, “gue ngga dapet, elo juga ngga boleh dapet, mending buat hantu sekalian!”
Inilah barangkali yang menjadi ruh dari SMS bernada geram semacam “Lo udah buat idup gw hancur. Skrg giliran idup elo gw buat berantakan!” Ketika Anda hubungi kembali, nomor pengirim SMS itu sudah tak aktif.
Sampai di sini, defenisi itu, bahwa mencintai berarti menginginkan kebahagiaan untuknya, walau tak harus bersamanya atau memilikinya, menjadi basa-basi yang beneran basi. Atau kita memang tak pernah mencintai siapapun, kecuali diri kita sendiri?
Maka ketika diri kita–satu-satunya orang yang kita cintai itu–tersakiti, pelakunya harus merasakan sakit yang sama, plus bonusnya tentu saja, sekalipun ia adalah seseorang yang, once upon a time, kita sebut sebagai yang tercinta.
Yang lebih kacaunya, seringkali tak ada siapapun yang menyakiti kita sebenarnya, kecuali diri kita sendiri. Tapi kita harus menemukan seorang terdakwa untuk penderitaan itu, dan orang itu adalah dia!
Jadi inget ungkapan orang Batak lainnya. (Doh, kok jadi sangat Batak nih tulisan). Hassit mulak mangido, humassitan mulak mangalean. Emg sakit ketika permintaan kita ditolak, tp ngga sesakit kalau yang ditolak itu pemberian. Apalagi kalau yang diberikan itu adalah hati…
Ketakutan akan penolakan, telah menjadi teror yang menyeramkan dalam kehidupan, yang mewarnai kisah nyata umat manusia, juga skenario rekaan di layar sinema. Kita kadang sulit menakar, mana yang lebih perih: cinta yang tak pernah diucapkan, atau cinta yang terucap, tetapi berujung penolakan.
Tapi, apakah kita punya hak membenci seseorang, hanya karena dia tidak menerima hati yang kita berikan? Apakah kita boleh mengatakan, “Karena cintaku tak kau butuhkan, berarti yang kau perlukan dariku adalah kebencian?”
Entahlah… Tetapi saya, dan banyak orang yang saya kenal, pernah seperti itu. Sampai kemudian saya tahu, cinta yang ditolak bukanlah akhir segalanya. Benar, semua memang akan berakhir jika cinta yang “ditolak” itu kemudian kita biarkan melintasi batasnya yang setipis kulit bawang, menjadi kebencian. Orang yang tadinya masih agak Simpati dan menganggap kita Fren, pasti berubah menjadi Mentari, membakar kita dengan bara amarahnya.
Padahal ada option yang lebih baik. (1) Pamit baik-baik, mengemas kembali tumpahan hati yang tak menemukan muaranya itu, mencari samudera lain yang membutuhkannya, yang benar-benar bisa menghargainya.
Atau…
(2) Jika sungguh tak bisa pindah ke lain hati, tetaplah mencintainya, karena sebenarnya, tak siapapun yang bisa menolak persembahan cinta. Bukankah mencintai adalah hak setiap orang? Tetapi tentu saja, mencintalah dari jauh, melayarkan rindu yang tak pernah kunjung berlabuh. Sayangi dirinya tanpa membuatnya merasa terganggu. Panjatkan do’a untuknya, walau dia tak pernah tau, memohonkan bahagia untuknya, walau kebahagiaan itu dibaginya bukan denganmu.
Menyedihkan? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Yang jelas, itu tidak sekonyol cinta yang bermutasi jadi benci tadi. Lagian, Tuhan konon menyimpan sebuah janji rahasia di langit sana: bahwa tak ada balasan bagi cinta sejati, kecuali cinta sejati pula.
Siapa tau, ini cuma persoalan waktu…


Tidak ada komentar:

Posting Komentar