Pada mulanya semua ilmu pengetahuan menyatu pada
filsafat. Tetapi pada perkembangannya, satu persatu ilmu-ilmu itu melepaskan
diri dari filsafat. Dan kenyataannya, ilmu-ilmu itu lebih baik dalam kehidupan praktis.
Ada kesan bahwa sebagian masyarakat menganggap
filsafat kurang penting. Paling tidak, mereka berpendapat bahwa filsafat tidak
praktis. Maksutdnya, filsafat tidak dapat digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah praktis sehari-hari. Kehidupan di zaman ini memang menuntut
spesialisasi dan keahlian. Maka filsafat yang membangga-banggakan diri sebagai
ilmu yang menyelidiki segala sesuatu
secara menyeluruh tersisih, atau --- katakanlah --- diistirahatkan.
Apa yang dituturkan Prof. Dr. Fran Magnis Suseno
dan Prof Dr Kees Bertens tentang nasib filsafat barangkali membuat sewot
orang-orang yang sangat semangat-semangatnya belajar filsafat. Bertens mengutip
film Taxi (1990) yang disutradarai Arifin C. Noer, dan dibintangi Rano Karno
(sebagai Giyon). Dalam cerita itu Giyon, yang adalah sarjana filsafat, bekerja
sebagai supir taksi karena memang susah mendapat lowongan kerja. Dan dalam
seluruh dialog kelihatan bahwa Giyon menyesal menjadi sarjana filsafat. Toh,
akhirnya ijazah filsafat tak dapat memberinya pekerjaan (G. Moedjanto dkk: 39).
Bertens
selanjutnya menguraikan bahwa perkembangan pesat ilmu-ilmu empiris dewasa ini
secara otomatis membuat gengsi filsafat merosot. Fakultas yang dipadati
mahasiswa --- pasti --- adalah fakultas yang bukan filsafat. Mata kuliah yang
paling dicari-cari pasti bukan filsafat ketuhanan atau filsafat ilmu
pengetahuan. Itu ada kaitannya dengan semangat utilitaris yang menjadi ciri
kehidupan modern. Orang mencari pertama-tama yang berguna dan praktis bagi
kehidupan (Bertens: 40).
Meredupnya pamor ilmu filsafat, ditengah-tengah
perkembangan pesat dan kejayaan ilmu-ilmu positif, mempunyai dampak negatif
yang dirumuskan Bahm sebagai disorientasi (disorientation),
demoralisasi (demoralization), ketakmampuan
bertindak (incapacitation), bencana (crucifixion), dan rekonstruksi (reconstruction).
Disorientasi: karena kita tidak memiliki gambaran
utuh tentang hakekat, tujuan hidup, pribadi, masyarakat, dan masyarakat
manusia, maka kita kehilangan orientasi. Ini menyebabkan negara-negara dan kelompok-kelompok
menghayati doktrin-doktrin sektarian sehingga menyulitkan kerja sama yang lebih
luas.
Demoralisasi: kekaburan pengertian tentang konsep
moral, misalnya menghasikan pemahaman yang salah terhadap berbagai bidang
kehidupan seperti tentang tugas, pekerjaan, atau kebebasan. Salah satu
akibatnya adalah meningkatnya angka kriminalitas dan ekses-ekses sosial
lainnya.
ketakmampuan bertindak (incapacitation): tidak adanya visi bersama di kalangan para
pemimpin bangsa atau kelompok mempersulit usaha ke arah perdamaian dunia dan
penegakan perdamaian, keadilan, survival, atau standar hidup minimal.
Krisis semakin parah (crucifixion): krisis demi krisis yang terjadi tanpa ditangani
secara mendasar akan menghasilkan krisis yang lebih parah.
Rekonstruksi: upaya rekonstruksi akan menjadi lebih
mahal. (Bahm: 54-46).
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa peran filsafat
dewasa in sebetunya sangat besar. Sebagai contoh, berbagai negara menghadapi
ekses negatif karena ledakan penduduk dunia yang semakin mencemaskan. Tapi ini
terjadi justru karena negara-negara tidak mempunyai filosofi kependudukan yang
jelas. Oleh sebab itu, bahwa pamor filsafat kelihatannya menurun (sedangkan
indonesia, khususnya dikalangan akademis bahkan memperlihatkan trend sebaliknya),
sehingga membawa dampak negatif sepeti disebutkan diatas, itu merupakan bukti
bahwa filsafat dan belajar filsafat dewasa ini tetap dan akan tetap penting.
Kita dapat menyebutkan beberapa belajar filsafat.
a) Filsafat memungkinkan orang berfikir secara komprehensif,
memberi peran yang wajar kepada konsep, mendasar atau radikal, konsisten atau
runtut, koheren atau logis, sistematis, bebas, dan bertanggungjawab.
b) Filsafat memperluas pandangan melampaui disiplin
ilmu tertentu. Filsafat membantu seseorang untuk menempatkan bidang ilmunya
dalam perspektif lebih luas dan mendasar. Tanpa filsafat, ilmuwan cenderung
untuk berpandangan sempit “fisikawan yang mempelajari seekor gajah hanya dengan
mikroskop akan memperoleh sedikit sekali pengatahuan tentang binatang itu,”
kata Henri Poincare (1854-1912), dan seorang ahli matematika dan filsafat
prancis. (Bertens: 42).
c) Filsafat memberikan pendasaran rasional tentang
hakekat eksistensi, pengetahuan, nilai-nilai, dna masyarakat. Filsafat
memberikan pendasaran mendasar tentang hakekat ilmu (epistemologi), menjadi
orang berfikir lurus (logika) memberikan kritik terhadap ilmi-ilmu, memberikan
keterangan tentang dasar terdalam realitas, memberikan argumentasi rasional
bagi konsep-konsep teologi (teologi metafisik) membahas secara mendalam tentang
manusia (antropologi filsafat), memberikan penjelasan mendasar tentang hakekat
dan tujuan jagad raya (kosmologi), membibing manusia dalam kegiatannya sebagai
manusia (etika), memberikan dasar apresiasi bagi keindahan (estetika), dan mendorong
orang untuk mengukur segalanya berdasarkan perspektif sejarah 9sejarah
filsafat).
d) Bagi orang beragama, filsafat memberikan
pendasaran rasional bagi kepercayaannya. Hasilnya, iman orang akan menjadi
samakin kokoh karena kepercayaannya mendapat dasar rasional dan
dipertanggungjawabkan.
e)
Filsafat merupakan kritik ideologi. Ideologi
adalah teori menyeluruh tentang makan hidup dan/atau nilai-nilai daripadanya
ditarik kesimpulan-kesimpulan mutlak tentang bagaimana manusia harus hidup
dan/atau bertindak. Ciri khas ideologi adalah bahwa tuntutannya bersifat
mutlak. Ideologi menuntut bahwa suatu tidak boleh dipertanyakan. Sedangkan
filsafat menuntut pertanggungjawaban. “Filsafat menggonggong, mengganggu dan
menggigit.” (Magnis-Suseno : 21-22).
f) Filsafat dibutuhkan untuk memecahkan
masalah-masalah, etis yang disebabkan oleh perkembangan pesat ilmu pengetahuan.
Misalnya, dibidang kedokteran, teknologi, penjelahan ruang angkasa, dan
sebagainya.